Dana senilai Rp 72 triliun akan siap
digelontorkan oleh pemerintah dalam rangka menstimulus perekonomian. Rencana
tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga target
pertumbuhan ekonomi sekaligus menggerakkan perekonomian di desa. Sejak tahun
2015 hingga 2019, dana desa yang sudah terealisasi mencapai Rp 257 triliun atau
secara rata-rata meningkat 42% setiap
tahun. Bahkan saat ini proporsi dana desa terhadap total belanja pemerintah
juga semakin meningkat.
Namun sayangnya, tren peningkatan
anggaran dana desa tersebut, belum diimbangi dengan peningkatan jumlah
pendamping desa. Ironisnya, Menteri Desa PDTT, Halim Iskandar, pada 5 Februari
lalu menyatakan bahwa tahun ini berencana memoratorium pengisian kekurangan
pendamping desa, di saat kita kekurangan tenaga pendamping. Bahkan, hingga saat
ini masih ada desa yang belum didampingi: dari 74.935 desa, sekitar 1000 desa
belum memiliki pendamping.
Saat ini, jumlah pendamping hanya
38.719 orang. Artinya, satu pendamping berkewajiban mendampingi dua desa dan
bahkan bisa lebih untuk kasus beberapa daerah. Misalnya seperti yang terjadi di
Bengkulu dan Kalimantan Tengah di mana satu orang pendamping terpaksa
mendampingi sekitar tiga hingga empat desa sekaligus. Padahal idealnya, setiap
desa didampingi minimal oleh satu orang.
Keberadaan pendamping desa memainkan
peranan penting dalam pemberdayaan masyarakat serta pemerintah desa. Mereka
berperan sebagai fasilitator pembangunan desa, penghubung antara pemerintah dan
masyarakat sekaligus menjadi konsultan dalam setiap perencanaan hingga evaluasi
program. Melihat pentingnya peranan pendamping, maka sudah seharusnya jumlah
pendamping disesuaikan dengan jumlah desa yang ada.
Selain kekurangan jumlah pendamping,
kita sebetulnya juga dihadapkan pada sejumlah permasalahan serius lainnya.
Umpamanya, penggunaan dana desa oleh BUMDes yang belum optimal. Dalam temuan
BPK pada semester II 2018 lalu, disebutkan bahwa terdapat BUMDes yang tidak
beroperasi, tidak tertib administrasi, tidak dikelola orang kompeten dan bidang
usaha yang diusahakan tidak sesuai dengan potensi desa. Temuan tersebut juga
diperkuat fakta bahwa dari 45.887 BUMDes yang tersebar di berbagai desa, hanya
10% BUMDes yang masih on the track, dan sebesar 21%nya mangkrak dan
sisanya masih bertumbuh mencari jati diri.
Hal ini kemudian diperparah dengan banyaknya kasus korupsi pada pengelolaan dana desa. Berdasarkan
temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), kasus korupsi dana desa setiap
tahunnya terus mengalami peningkatan. Dari semula 22 kasus pada 2015 menjadi 96
kasus pada 2018. Jika dijumlahkan, sejak 2015-2018 kasus korupsi dana desa
sudah mencapai 252 kasus. Jumlah yang tidak sedikit, tentu saja.
Langkah Perbaikan
Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, tentu diperlukan langkah perbaikan serius untuk meningkatkan efektivititas
penggunaan dana desa tersebut. sebagai langkah awal, kita perlu meningkatkan
kuantitas dan kualitas pendamping desa. Kehadiran pendamping sejak saat
perencanaan program hingga pelaporan akan menghasilkan kebijakan yang selaras
dengan kebutuhan desa serta dapat meminimalisir ketidaksesuaian administrasi.
Dengan demikian, pengelolaan dana desa akan menjadi semakin baik, akuntabel dan
transparan.
Kedua, revitalisasi
BUMDes. Dalam melaksanakan agenda revitalisasi ini dibutuhkan pendampingan yang
intensif dari tenaga pendamping desa. Pendamping diharapkan mampu memperkuat
kapasitas SDM manajemen BUMDes dan membantu BUMDes dalam merencanakan
usaha. Core business BUMDes sebaiknya disesuaikan dengan
potensi unggulan dan kearifan lokal desa. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi
kasus BUMDes yang mangkrak akibat salah memilih jenis usaha.
Untuk memperkuat dan menjaga
keberlanjutan usaha BUMDes, sebaiknya BUMDes diintegrasikan (linkage)
dengan BUMDes lain atau dengan industri sedang maupun besar melalui kemitraan
dan pendampingan dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan terbangunnya
linkage tersebut, berbagai permasalahan seperti kesulitan mengakses pasar,
modal dan teknologi dapat teratasi.
Terakhir, ketiga, yang tidak kalah penting adalah membangun mentalitas dan meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini, kita dapat meniru Korea Selatan
yang berhasil menekan kemiskinan di desa melalui serangkaian kebijakan program
pembangunan desa yang bernama Gerakan Saemaul Undong. Program
tersebut tidak hanya sekadar membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana
dasar serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Tetapi juga membangun
mentalitas masyarakat agar memiliki etos pekerja keras, disiplin, tekun dan
jujur.
Mentalitas yang seperti itulah yang dibutuhkan
saat ini. Masyarakat harus menyadari bahwa pembangunan seyogyanya dilakukan
dari, oleh dan untuk mereka sendiri. Apalagi, di tengah keterbatasan kemampuan
pemerintah sebagai penggerak utama pembangunan pedesaan, maka perubahan yang
terjadi di desa akan bergantung pada kemampuan masyarakatnya. SDM yang kreatif
dan inovatif adalah kunci dari kemajuan desa, dan salah satu pendekatan yang
efektif untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat desa adalah melalui
pendampingan yang berkualitas dan intensif.
*) Artikel ini telah dimuat dalam harian Bisnis
Indonesia pada Selasa, 18 Maret 2020